IKHLAS
Oleh : Nurashinichi
Apa
arti ikhlas menurut pandangan kalian? Sebagian besar orang berpikir bahwa
ikhlas adalah melakukan sesuatu tanpa mengharap imbalan, semata-mata hanya
Lillahi ta'ala. Betul? Yah, akupun berpikir demikian.
Ikhlas
adalah salah satu akhlak mahmudah yang memang mudah untuk diucapkan tapi sulit
untuk dilakukan, sama seperti beberapa akhlak mahmudah yang lainnya, seperti
tawadhu' dan lain sebagiannya.
Dan
inilah yang tengah aku rasakan sekarang, satu akhlak yang harus aku terapkan
dan aku praktekan, ikhlas. Aku harus ikhlas dengan segala hal yang terjadi
selama kurun waktu 3 bulan ini. Waktu yang sangat singkat untuk ukuran
kehidupan manusia di dunia ini. Waktu yang telah mengubah hidupku habis-habisan
dan menempatkanku pada titik terendah roda kehidupan yang tengah kulewati.
Malam
nahas itu masih kuingat dengan jelas. Api besar itu membakar habis seluruh
kekayaan yang telah Ayah dan Ibu kumpulkan selama bertahun-tahun, semuanya
terbakar habis tanpa sisa, menyisakan abu hitam yang bertumpuk membentuk
gundukan kecil. Sejak itu, kemewahan yang selalu aku rasakan di setiap detik
waktuku tak lagi kurasakan. Usaha salon yang digeluti ibuku bangkrut, seakan
itu belum cukup, ayahku dipecat dari perusaahaan tempat ia bekerja karena
fitnah. Semakin lama, pertahanan orang tuaku akhirnya luruh, mereka mulai
sakit-sakitan secara serempak dan meninggalkan diriku dengan predikat 'yatim
piatu'. Sedih? Tentu saja, bagaimanapun tak pedulinya mereka padaku—karena
kesibukan mereka—mereka tetap orangtuaku. Kini aku hanya bergantung hidup
dengan mengandalkan uang tabungan orang tuaku yang semakin hari semakin
berkurang, tentu saja.
Deraan
kesusahan setiap saat selalu menjadi momok yang menakutkan bagiku, aku yang
dulu menjadi primadona di sekolah, kini tak lagi, semua orang menjauhiku
semenjak aku bertukar menjadi orang miskin.
Hanya
satu yang membuatku bertahan di sana, Farhan. Dia adalah kakak kelas yang
berstatus sebagai kekasihku saat ini. Tapi tampaknya sejak malam nahas itu, ada
sesuatu dalam dirinya yang membuat sikapnya berubah padaku. Tak lagi semanis,
selembut, dan sebaik dulu. Sudah berkali-kali aku mencoba untuk memperbaiki
hubungan kami, meminta penjelasan dan alasannya bersikap begitu tak acuh
padaku, tapi nihil. Dengan berbagai alasan, ia meninggalkanku dalam rasa
penasaran tanpa ujung. Kesal? Tentu saja, Farhan adalah salah satu dari sekian
banyak pilihan yang kupikir bisa mendukungku sepenuhnya, tapi nyatanya tidak.
Dia bahkan diam saja saat aku diejek habis-habisan oleh seluruh penghuni
sekolah. Ironis.
Aku
tidak tahu harus menceritakan ini pada siapa, pada teman? Hanya saja kenyataan
menyentakku bahwa sejak malam nahas itu, semua orang seperti kompak untuk
bergerak menjauh dari sisiku tanpa terkecuali, miris. Semuanya habis, tak
bersisa.
Malam
ini, tepat 4 bulan sejak malam naas itu, selama itu pula aku bersabar menerima
semua cacian, makian, dan hinaan yang datang dari berbagai pihak padaku tanpa
bisa melakukan apapun untuk menghentikannya, karena nyatanya apa yang mereka
katakan memang benar adanya.
Sejak
sejam lalu, setelah sedikit berbincang dengan kedua waliku—saat ini aku tinggal
bersama Paman dan Bibiku—yang kulakukan adalah tidur terlentang tanpa ada
niatan untuk memejamkan mata. Tak ada rasa kantuk yang menghinggapiku. Kepalaku
rasanya penuh sesak dengan berbagai masalah yang sedang ataupun akan kuhadapi,
ingin rasanya aku berhenti dari sekolah dan memilih bekerja apapun bentuknya,
asal hidupku dapat terjamin. Tapi aku sadar, aku tidak memiliki keahlian apapun
untuk modal usaha. Argh, Tuhan, kenapa kau timpakan semua masalah ini secara
beruntun?
Deringan
ponsel menghentikan lamunanku, sebuah nomor tanpa nama yang belakangan menjadi
salah satu orang yang paling kubenci. Ragu-ragu aku menekan tombol accept
pada layar ponselku. Ini adalah harta terakhirku satu-satunya yang masih
selamat selepas tragedi itu. Aku menempelkan ponselku ketelinga.
"Halo,"
sapaku pelan.
"Hai,
Arifa, apa aku menganggumu?" sahutan di seberang sana membuatku
memutar bola mata malas.
"Tidak
usah berbasa-basi, apa yang mau kamu sampaikan?" selaku cepat.
Terdengar
helaan napas berat di seberang. Jantungku terasa bereaksi terbalik dengan
ucapanku, nyatanya debaran itu masih terasa kuat sama seperti dulu, kupu-kupu
di perutku masih mengepakkan sayapnya dengan semangat. "Aku ... aku
rasa aku tidak dapat melanjutkan hubungan ini lagi, bukan karena aku tidak bisa
menerima keadaanmu, tapi —" Jleb! Sakit seketika melanda
dadaku, kupu-kupu yang tadinya tengah mengepakkan sayapnya dengan sayap seolah
secara paksa melepaskan sayap mereka hingga tidak dapat bangkit lagi. Tapi,
degupan itu masih terasa, hanya perlahan hancur dan serpihannya menyayat hatiku
hingga luka dan berdarah.
"Aku
paham, baiklah. Mulai detik ini kita tidak ada hubungan apapun lagi." Aku
segera menekan tombol end untuk mengakhiri panggilan tanpa mau
repot-repot menunggu sahutan darinya. Cukup sudah, aku tidak tahan lagi. Apa
ini belum cukup bagiku, Tuhan?
Sebuah
bayangan seketika melintas di kepalaku, apa itu saja yang harus kulakukan?
Tapi, apa aku tidak akan menyesal jika melakukannya? Ah persetan lah, tidak
akan ada penyesalan, aku yakin, tidak akan ada yang kehilanganku bukan? Toh
tidak akan ada yang merindukanku, semuanya telah diambil dariku tanpa sisa,
sialan.
Mataku
nyalang menatap ke segala penjuru kamar, pandanganku tertumbuk pada pintu
balkon kamarku yang berada di lantai dua. Aku beranjak dari posisi rebahanku
dan menggeser pintu balkon perlahan. Terpaan angin malam mengenai tubuhku yang
hanya terbalut kaos oblong dan celana hot pants kesukaanku. Mataku
terpejam menikmati terpaan angin malam ini, menenangkan.
Langkahku
mendekat ke tepian balkon dan memegang pagar pembatas dengan erat, mataku
kembali terpejam beberapa saat, lalu terbuka lagi dan melepaskan pandanganku
untuk menikmati langit malam yang penuh bintang. Indah. Tapi aku tak tahan
lagi, rasa sakitku belum sembuh dari hinaan di sekolah ditambah dengan
keputusan yang diambil oleh Farhan atas hubungan kami. Ah sialan.
Aku
masuk kembali ke kamar dan meraih jaket merah di gantungan, dan memakainya
dengan cepat. Kusempatkan menulis sebuah note kecil dan menaruhnya diatas meja
nakas samping tempat tidur, lalu mengendap keluar dari rumah, persis maling.
Setelah
menutup pintu utama dengan gerakan sepelan mungkin, aku langsung mengayunkan
langkah cepat tanpa arah tujuan, aku hanya ingin menghirup udara segar dan
menenangkan diri untuk sementara. Keadaan sekitarku benar-benar sepi dan
lenggang. Wajar saja sebenarnya, ini sudah lewat jam 9 malam. Tapi aku tak
peduli, aku terus melangkah dan melangkah hingga aku sampai di sebuah
persimpangan jalan.
Aku
menimbang-nimbang jalan mana yang akan kupilih, akhirnya kuputuskan mengambil
jalan ke sebelah kanan. Langkahku terus terayun, dan suara gemerisik di belakangku
membuatku menajamkan pendengaran dan menatap ke arah belakang dengan pandangan
awas. Tidak ada siapa-siapa, mungkin hanya kucing lewat, pikirku. Hingga di
sebuah jalanan sepi, tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutku dan tangan
sebelah lagi memegangi pergelangan kedua tanganku, cengkramannya amat kuat, aku
coba meronta, namun sia-sia.
Sial,
aku tidak mau mati konyol di jalanan seperti ini, aku memang ingin mati bila
mengingat hal menyakitkan yang kualami secara beruntun pula, tapi mati konyol
di jalanan seperti ini? Itu bukan pilihanku, Ya Tuhan, datangkanlah malaikat
penolong untukku.
Bugh
...
Suara
pukulan membuatku yang tengah memejamkan mata karena rasa takut yang mendera
segera membuka kelopak mataku dan memandang ke arah depan, seorang pemuda dengan
masker yang menutupi wajah, jaket kulit yang melekat di badan dan celana jeans
panjang yang membalut kaki panjang miliknya. Ia kembali menghujani lelaki asing
tadi dengan pukulan hingga lelaki asing tersebut terkulai lemah tak berdaya
dengan keadaan babak belur.
Setelah
memastikan lelaki asing itu tak sadarkan diri, ia segera menghampiriku dan
memandangku lekat. "Kamu tidak apa-apa? Apa ada yang terluka?" Ya
Tuhan, suaranya berat dan maskulin sekali terdengarnya di telingaku. Aku hanya
sanggup mengangguk dan mencoba berdiri dibantu olehnya.
Ia
membawaku ke sebuah kedai kopi dan mendudukkanku di sampingnya. Dan bodohnya
aku tidak menolak ajakannya sedikitpun. "Apa yang kamu lakukan malam-malam
di jalanan seperti ini? Sendirian pula." Matanya—yang baru kusadari
berwarna coklat tua—menatapku tajam. Aku hanya mampu menundukkan kepalaku dan
menggeleng pelan.
Ia
mengangsurkan segelas teh hangat ke arahku, "minumlah," ucapnya
disertai helaan napas. Aku meraih teh hangat itu dan meneguknya, aliran teh
hangat itu mampu mengusir rasa dingin yang sempat kurasakan beberapa saat lalu.
"Jadi,
apa yang kamu lakukan di jalanan tadi? Andai aku tidak ada, mungkin kamu sudah
jadi santapan empuk hasrat pria asing tadi." Ck, sombong sekali dia.
Aku
mengangkat wajahku dan menatapnya tajam. "Maaf Tuan pahlawan yang
terhormat. Apapun yang saya lakukan tadi tidak ada sangkut pautnya denganmu,
jadi Anda seharusnya tidak bersusah-payah membantu saya, biarkan saya mati,
karena itu yang saya cari," ucapku sinis. Tapi sialnya air mataku turun
tanpa bisa kucegah, sakit hatiku masih berdarah dan basah.
Ia
sepertinya terkejut dengan reaksiku karena ia segera memegang bahuku dan
menatapku cemas. "Hey, apa yang kamu bicarakan? Jangan bercanda. Aku minta
maaf jika perkataanku membuatmu sakit hati, aku hanya tidak habis pikir dengan
apa yang kamu lakukan. Aku hanya tidak ingin kamu kenapa-napa," ucapnya
sendu.
Seketika
hatiku menghangat mendengar ucapannya, darahku berdesir mendengar ucapannya
yang sarat kekhawatiran. "Kenapa kamu mencemaskan aku? Aku bahkan tidak
mengenalmu, begitu pula sebaliknya," ucapku bingung.
Ia
menggeleng mendengar penuturanku. "Aku tidak tahu, mungkin karena ketika
aku melihatmu teringat dengan kekasihku yang mati karena bajingan jalanan
seperti tadi. Hanya bedanya ia ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa." Ia
menundukkan kepalanya dan tergugu seketika. Aku hanya melongo melihatnya. Entah
ada dorongan darimana, tanganku tergerak dan merangkul bahunya, mencoba
menenangkannya. "Ditambah lagi wajahmu mirip dengannya, sialan."
"Hey,
jangan salahkan aku, aku tidak pernah meminta Tuhan menciptakan wajahku mirip
dengan pacarmu," gerutuku pelan. Aku tidak suka disamakan dengan orang
lain.
Ia
mengangkat wajahnya perlahan. "Jadi hal apa yang membuatmu melakukan hal nekat
itu?" Aku merenung sejenak hingga entah kenapa, dengan bebasnya aku
bercerita kepada lelaki yang bahkan aku tidak tahu namanya.
Ia
menangkup wajahku yang telah sembab karena air mataku yang mengalir tanpa bisa
kucegah. Ia mengusap pipiku dengan jempol tangannya dan menghapus jejak air
mata yang terdapat di sana.
"Hey, dengan Nona ... um siapa namamu?"
tanyanya bingung.
"Arifa,"
sahutku pendek.
"Yah
Arifa, kamu boleh merasa sedih dengan segala hal yang tengah kamu hadapi. Tapi
bunuh diri bukan pilihan terbaik. Satu hal yang harus kamu lakukan saat ini
adalah ikhlas, ikhlas dengan apa yang Tuhan lakukan atas hidupmu. Ikhlas dalam
artian menerima dengan sepenuh hati rencana Tuhan dan memasrahkan segalanya
hanya pada-Nya."
Aku merenung mendengar ucapannya. "Kamu mungkin
berpikir dengan mati segala urusanmu akan selesai, tapi kamu salah. Apakah kamu
sudah siap menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatanmu
selama kamu hidup?" Ucapannya sukses membuatku terhenyak. Yah, dia benar.
Ia
menarik tanganku hingga berdiri. "Ayo, kuantar kamu pulang." Aku
hanya menurut dan terdiam merenungi ucapannya hingga kami sampai di depan rumah
tante yang sempat kusebutkan alamatnya tadi. Aku turun dari boncengannya dan
mengucapkan terima kasih. Ia tersenyum dan mengusap puncak kepalaku lembut.
"Buatlah orang tuamu bangga melihat keberhasilanmu kelak." Lalu
menancap gasnya menjauh dari rumahku.
=== END ===
0 komentar:
Posting Komentar